RUBRIKASI

Musuh Penguasa Demokratis

Senin, 14 Desember 2009

Oleh Jeremias Jena (KOMPAS Cetak)


Apa yang paling membahayakan kekuasaan Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono?

Sekilas pertanyaan ini bersifat kontradiktif mengingat dukungan politik begitu luas bagi Presiden dan Wapres RI pada pemilu presiden lalu.

Meski demikian, rentetan peristiwa politik, dari kasus Bibit- Chandra, beberapa kekerasan aparat keamanan terhadap warga negara tidak bersalah, hingga praktik peradilan yang mencederai rasa keadilan, membuat pertanyaan ini relevan untuk direfleksikan.

Gene Sharp dalam From Dictatorship to Democracy (2003) mengatakan, salah satu karakteristik masyarakat demokratis adalah eksisnya berbagai kelompok sosial independen dan lembaga nonpemerintah, seperti perkumpulan berbasis keluarga, kelompok profesi, kelompok agama, kelompok budaya, asosiasi pelajar-mahasiswa, institusi-institusi ekonomi, berbagai serikat buruh, dan partai politik (2003: 19).

Bagi Gene Sharp, aneka kelompok independen ini memiliki signifikansi politik amat tinggi, persis saat mereka menjadi corong aspirasi masyarakat. Karena itu, eksistensi mereka menjadi sebuah keharusan dalam setiap pemerintahan demokrasi.

Peran media

Peran ini menjadi kian kuat saat media—salah satu pilar demokrasi—yang propenyelenggaraan negara yang bersih, jujur, adil, dan transparan terus mewartakan dan menyebarluaskan hampir seluruh perjuangan berbagai kelompok sosial independen dalam menentang ketidakadilan pemerintah.
Media dengan seluruh kemampuannya—misal kekuatan agenda-setting, yakni memilih berita sehingga pemirsa atau pembaca langsung fokus atau mendapat kekuatan framing, yakni memberitakan dalam aneka frame dengan maksud untuk mengarahkan dan memengaruhi pemirsa, memperdalam atau menimbulkan efek terkejut, heran, bangga, frustrasi, marah, dan sebagainya—benar-benar menjadi alat kontrol amat efektif atas kekuasaan negara (Agner Fog, The Supposed and the Real Role of Mass Media in Modern Democracy, 2004: 11-15).

Hannah Arendt dalam On Violence mengatakan, kekuasaan adalah ”bertindak dalam konser” (1969: 44). Dua hal mau ditekankan Arendt. Pertama, pemerintahan yang demokratis menerima, mengakui, dan memberi ruang bagi pluralitas. Berbagai elemen dalam masyarakat, termasuk aneka organisasi sosial, NGOs, atau media, termasuk bagian dari pluralitras yang harus diterima dan diakui sebuah negara demokratis.

Pada konteks ini, ”bertindak dalam konser” menuntut rezim kekuasaan demokratis mendengar apa yang disuarakan, memilah, mengolah, dan memutuskan secara transparan berbagai kebijakan yang membawa pada kebaikan dan kesejahteraan bersama. Tiap penguasa demokratis dibayangkan sebagai dirigen yang memiliki kemampuan mengelola dan mengatur berbagai elemen sosial demi menghasilkan ”suara” merdu, layaknya sebuah konser.

Kedua, penguasa yang demokratis mengakui kebebasan individu, dalam arti kebebasan menyatakan pikiran dan kehendak (dalam pemahaman Arendt), kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak-hak sipil lainnya. Bagi Arendt, pengakuan akan kebebasan saja tidak cukup tanpa jaminan bahwa semua warga negara sama di hadapan hukum dan pemerintahan.

Tiap penguasa demokratis yang absen mewujudkan kedua hal ini tidak hanya melucuti baju kekuasaan demokratis yang mereka pakai, tetapi juga mengubah kekuasaan berwajah demokratis menjadi otoriter dan total.

Penguasa demokratis

Kembali ke pertanyaan awal tulisan, bahaya serius membayangi kekuasaan SBY-Boediono jika kekuasaannya tidak berkarakter ”bertindak dalam konser” di mana mereka mengambil bagian aktif dalam diskursus bebas dan terbuka di ruang publik, serta mengakui pluralitas dan kebebasan individu. ”Ketakutan” terhadap tekanan massa, tidak berani bersikap, lamban dan ragu bertindak, memengaruhi opini publik melalui perang pernyataan, menekan dan meneror media, tidak melindungi kelompok sosial dari berbagai konflik horisontal, atau pernyataan balik melalui juru bicara justru menjadi bahaya serius mengancam kekuasaan SBY-Boediono.

Sekitar 40 tahun lalu, Arendt mengingatkan (On Violence: 1969) penguasa demokratis yang mulai kehilangan legitimasinya akan mudah tergoda dan jatuh ke pemerintahan otoriter. Kita tidak berharap ini terjadi di Indonesia. Berbagai tekanan publik dan pandangan kritis media sebenarnya mengingatkan agar SBY-Boediono segera mewujudkan pemerintahan yang jujur dan adil, tidak menyandera keadilan rakyat dengan kepentingan apa pun yang lebih besar, dan dengan sabar mengolah aneka kepentingan yang muncul di ruang publik menjadi kebijakan propeningkatan kesejahteraan rakyat. Tanpa itu, musuh delegitimasi akan membayang di depan mata.

Jeremias Jena Staf Departemen Etika Fakultas Kedokteran; Dosen Filsafat di Unika Atma Jaya, Jakarta

Read Full 0 komentar

Risiko (Politik) Sistemik

Oleh A Prasetyantoko

Pernyataan Menkeu Sri Mulyani di Wall Street Journal tentang perseteruannya dengan Aburizal Bakrie, terkait hak angket DPR, tak menyurutkan gelombang politik penggugatnya.
Itu berarti secara politik terjadi dampak sistemik. Dan secara ekonomi, dampak sistemik penalangan kian dipertanyakan.

Benarkah perekonomian lebih buruk jika Bank Century tak diselamatkan? Ini tak bisa dijawab karena fakta talangan Rp 6,76 triliun sudah terjadi. Dalam ilmu ekonomi, kita bisa menilai ”benar-salah”-nya sebuah kebijakan melalui simulasi counterfactual.

Saat krisis 1997/1998, banyak studi dilakukan guna menguji kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga hingga 70 persen. Beberapa menyimpulkan, jika BI tidak menaikkan suku bunga kredit mengikuti saran IMF, krisis tak separah itu. Artinya, kebijakan menaikkan suku bunga membuat efek pro-siklus, krisis makin dalam.

Dalam kasus itu, meski terbukti ada ”kesalahan” kebijakan, tak satu pun pengambil kebijakan dihukum.

Bank Century

Bank Century, sebagai hasil penggabungan Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC, sudah bermasalah sejak awal terbentuk, 2004. Dua bulan setelah bergabung, BI menemukan pelanggaran rasio kecukupan modal, saat itu, sebesar minus 132,5 persen. Padahal, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 5/8/PBI/2003 mensyaratkan, bank sehat harus memiliki kecukupan modal minimal 8,0 persen.

Selama 2005-2007 ditemukan aneka pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Tahun 2008-2009, otoritas mengetahui penjualan produk reksa dana Antaboga, tetapi Bank Century tetap bertahan.

Bulan September-November 2008 merupakan puncak krisis global, berpusat di pasar keuangan AS. Indeks Dow Jones Industrial Average sebagai salah satu jangkar investasi pasar keuangan global tersungkur pada level terendah mendekati 7.000 poin, pertengahan November. Padahal, awal November masih bertengger di atas 9.500 poin.

Kondisi pasar modal domestik juga tak kalah buruk. Pada bulan-bulan itu, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia menyentuh level terendah 1.111,39 poin. Harga Surat Utang Negara juga merosot drastis (depresiasi sekitar 30 persen) sehingga pemerintah harus menanggung kenaikan yield hingga 17,14 persen.

Efek berantai menjalar penurunan cadangan devisa hingga 12 persen dalam tiga bulan menyusul melemahnya nilai tukar hingga menyentuh Rp 12.000/dollar AS. Lembaga pemeringkat juga menurunkan credit default swap mencapai rekor tertinggi sehingga surat utang kita cenderung dihindari investor. Rentetan ke sektor riil juga terasa dengan meningkatnya laju inflasi ke 12,65 persen.

Sebagai respons sistemik atas kekacauan finansial, pemerintah mengeluarkan tiga perppu penting. Pertama, Perppu No 2/2008 tentang perubahan UU BI yang memungkinkan BI mengeluarkan fasilitas pendanaan jangka pendek.

Kedua, Perppu No 3/2008 tentang perubahan penjaminan deposito oleh Lembaga Penjamin Simpanan dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.

Ketiga, Perppu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagai dasar terbentuknya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan.

Dana talangan

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua KSSK, Menkeu (akhirnya) menandatangani pemberian dana talangan Bank Century. Ada lima alasan mengapa bank itu mendapat suntikan; dikhawatirkan akan merusak lembaga keuangan (perbankan); menimbulkan dampak sistemik pasar uang; nilai tukar mengganggu sistem pembayaran; mempengaruhi psikologi pasar; dan sektor riil. Sederhananya, jika tak diselamatkan, terjadi bahaya sistemik.

Padahal, total aset bank itu ”hanya” Rp 15 triliun, (0,5 persen dari total aset perbankan). Jumlah nasabah kecil sekitar 65.000, sekitar 0,1 persen dari total nasabah bank. Sementara dana pihak ketiga Rp 10 triliun atau kurang dari 1,0 persen dari total dana pihak ketiga. Memang ukuran tidak bisa menjadi patokan.

Sebuah bank kecil Northern Rock (Inggris) dan Bear Stearns (AS) terpaksa diselamatkan karena rangkaian transaksinya menyebar ke mana-mana. Jika tidak diselamatkan, dikhawatirkan menggugurkan sistem keuangan.

Namun, ada fakta lain yang tampaknya relevan diperhatikan. Beberapa waktu lalu, Dubai World, sebuah perusahaan investasi raksasa Timur Tengah, menyatakan tak mampu membayar sebagian kewajibannya. Akibatnya, hampir semua pasar finansial kawasan Timur Tengah bergejolak. Bahkan, dampak sistemiknya menjalar ke pasar modal AS, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia. Secara mengejutkan, Abdulrahman al-Saleh, Menkeu Dubai, mengatakan, tak ada dana talangan dari pemerintah (Financial Times, 1/12/2009).

Praktik penalangan sebenarnya terkait konsep Too Big To Fail. Kini, doktrin ini dipertanyakan kesahihannya oleh para akademisi dan lembaga penjamin simpanan-nya AS.

Sederhananya, keputusan menalangi Bank Century mengandung banyak kelemahan meski bukan berarti pengambil kebijakan bisa dikriminalisasi. Masalahnya, respons terhadap kasus Bank Century sudah masuk ranah politik. Maka dari itu, terlepas dari benar-tidaknya dampak sistemik secara ekonomi, dampak sistemik politiknya sudah sangat nyata.

A Prasetyantoko Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta

sumber: Kompas Cetak


Read Full 0 komentar

Tenggelamnya "Indonesia Incorporated"

Senin, 07 September 2009

oleh Simon Saragih

KRITIK sering membuat pemerintah menjadi berang. Kita jadi bertanya, apakah kritik itu tidak disukai karena memang tidak tepat. Atau apakah hal itu menunjukkan ”telinga tipis”? Jika Indonesia ingin memaksimalkan potensi, jelas kritik harus dianggap sebagai pendorong atau katakanlah penghardik, dan bukan untuk ditakuti.

Demikian juga soal perdagangan internasional, terlalu banyak hal yang diajukan, atau katakanlah kritik. Dalam perundingan internasional, soal liberalisasi, soal tuntutan agar akses pasar di negara maju dibuka, Indonesia tidak ketinggalan.

Bersama Menteri Perdagangan India Anand Sharma dan Menteri Luar Negeri Brasil Celso Amorim, Menteri Perdagangan RI Mari Pangestu tergolong sebagai kampiun pembela kepentingan negara berkembang. Sebagai Ketua G-33, kumpulan negara-negara berkembang yang mendobrak ketidakadilan perdagangan internasional, Mari Pangestu telah memiliki nama tersendiri. Apakah kemampuan perundingan di tingkat internasional memadai?

Di dalam kiprah perdagangan dunia, Indonesia tergolong lumayan, dengan berada di posisi ke-31 sebagai eksportir dunia dengan nilai ekspor 138,8 miliar dollar AS pada 2008. Ini adalah data berdasarkan catatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Namun, jika komposisi ekspor Indonesia dibedah, dengan mudah bisa disimpulkan bahwa Indonesia pada umumnya mengandalkan endowment factor. Indonesia lebih mengandalkan faktor kekayaan alam, seperti minyak dan gas. Di sektor pertanian, Indonesia lebih mengandalkan kesuburan lahan, seperti perkebunan sawit.

Adakah ekspor lain yang bernilai tambah tinggi? Jelas banyak jenisnya, seperti elektronik, tekstil, komponen komputer, dan mebel. Namun, porsinya tidak banyak dan tidak terlalu menonjol.

Mengapa ini terjadi?

Indonesia pernah gencar mengampanyekan Indonesia Incorporated. Ini meniru Japan Incorporated yang mengharumkan nama dan produk-produk Jepang di dunia. Kombinasi antara pembinaan pengusaha skala menengah dan kecil, pendanaan perbankan, pengadaan prasarana pelabuhan, jalan raya, kawasan industri, pelatihan, riset, dan pengembangan, serta trading house membuat Jepang merajai pasar di mana-mana.

Malaysia pun meniru keberhasilan ini, dan kini membuat Malaysia berada di urutan ke-20 sebagai eksportir terbesar dunia, dengan nilai ekspor 195,7 miliar dollar AS, juga pada 2008 berdasarkan data WTO. Ini sebuah prestasi Malaysia, yang sebagian murid-muridnya pernah dididik para guru asal Indonesia, terus melambung dari sisi perdagangan dunia.

Keberadaan infrastruktur jalan, pelabuhan kaliber internasional, pengembangan sektor pertanian, yang tidak saja di sektor hulu tetapi juga sektor hilir, membuat Malaysia menjadi sebuah negara industri baru berbasis pertanian. Ini melengkapi kebijakan industrialisasi dan jasa-jasa yang juga mengalami kemajuan di Malaysia.

Adakah Indonesia sudah melakukan itu? Apakah ada kesadaran dan implementasi dari Indonesia Incorporated yang dicanangkan dekade 1990-an itu?

Kita harus meragukan ini. Jangankan mengekspor, untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik saja, Indonesia harus sering bergantung pada impor pangan.

Sangat disayangkan, keberadaan jumlah penduduk dan keberadaan kekayaan alam hanya dibiarkan begitu saja tanpa ada sentuhan kebijakan yang memadai agar Indonesia memiliki produk unggulan, yang bahkan bisa diekspor dalam jumlah signifikan.

Dengan ekspor, akan banyak tercipta kegiatan ekonomi, mulai dari produksi, pengemasan, armada, jasa keuangan, jasa asuransi, dan berbagai efek lain yang ditimbulkan kegiatan ekspor.

Dengan ekspor, Hongkong, Singapura, Taiwan, dan kini China semakin merajai pasar ekspor dunia. Warga punya harga diri dengan kebangkitan ekonomi, dan salah satunya akibat keunggulan produk-produk untuk diekspor.

Siapa yang harus melakukan kebijakan yang menata industri sehingga Indonesia bisa mencapai prestasi seperti itu? Berbagai pengalaman di dunia menunjukkan, peran pemerintah sebagai fasilitator amat dibutuhkan dalam hal ini. Peranan pemerintah seperti inilah yang lenyap dan membuat Indonesia Incorporated menjadi tenggelam.

Menurut Mari Pangestu, sebenarnya ada banyak potensi yang bisa diraih dalam ekspor. Beberapa produk Indonesia sudah memasuki pasar.

Wakil Perwakilan Tetap RI di WTO Erwidodo mengatakan, produk-produk Indonesia telah memasuki pasar nontradisional. Dari tahun ke tahun, ekspor Indonesia terus meningkat.

Namun, jika dibandingkan dengan kesempatan dan potensi Indonesia, hal ini tetap tidak seberapa. Terbukti, jutaan warga Indonesia terpaksa eksodus ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Negaranya tidak mampu memberi lapangan kerja sehingga banyak yang rela pergi ke luar negeri dengan segala derita yang sudah sering menghiasi media massa.

Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, ekspor senilai 138 miliar tidak begitu signifikan menampung kesempatan kerja.

Di sinilah peran pemerintahan Indonesia, dengan susunan kabinet baru, harus menjadikan potensi ekspor sebagai salah satu prioritas dalam bekerja.

Keandalan para diplomat perdagangan RI, khususnya di WTO, harus dilengkapi dengan keandalan para penyusun kebijakan di sektor pertanian, keuangan, dan perindustrian. Adalah saatnya meninggalkan pola lama, yaitu para anggota kabinet disusun berdasarkan bagi-bagi jatah untuk partai, dengan mengabaikan kepentingan Indonesia di dalam percaturan ekspor.

Jajaran kabinet baru sebaiknya meninggalkan pola penempatan orang-orang, yang pada akhirnya hanya akan berperan sebagai ”para pencari rente ekonomi untuk keuntungan ekonomi bagi diri sendiri dan kelompoknya”.

Perdagangan adalah salah satu cara untuk menjual produk-produk, yang menciptakan lapangan kerja, yang dampaknya akan luar biasa. Ini adalah salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan, yang melilit lebih dari 100 juta warga Indonesia.

Apakah nasib mereka yang miskin menjadi lenyap dan tak menjadi perhatian dengan keberadaan gedung-gedung pencakar di Jakarta? Apakah kemilau Jakarta membuat kita lalai bahwa di luar Jakarta ada banyak warga yang memerlukan pemerintah kuat? Apakah kemilau Jakarta membuat kita tidak lagi memerlukan Indonesia Incorporated? Hanya waktu yang akan membuktikan, apakah Indonesia Incorporated tetap tenggelam.

Sumber : Kompas Cetak
Read Full 0 komentar

Bank Century yang Mencengangkan

Sabtu, 05 September 2009

oleh Andi Suruji

MENCENGANGKAN pengungkapan upaya penyelamatan Bank Century. Upaya itu sebenarnya telah diputuskan pada tahun lalu oleh pemerintah bersama Bank Indonesia, bahkan telah disetujui juga oleh DPR.

Akan tetapi, akhir-akhir ini kasusnya mencuat karena ada hal-hal yang dinilai DPR kurang transparan dan kurang akuntabel. Misalnya, mengapa ketika DPR menyetujui upaya penyelamatan itu, biaya penyelamatan hanya sekitar Rp 1,3 triliun. Belakangan ketahuan uang dari kantong negara ternyata harus dikuras Rp 6,7 triliun.

Di situlah letak permasalahan awalnya. Namun, pemerintah dan BI menyatakan, dalam proses penyembuhan bank ini terdapat berbagai persoalan yang mengharuskan pemerintah terus menyuntikkan dana untuk memenuhi syarat kesehatan bank. Akhirnya biaya penyelamatan membengkak berlipat-lipat kali dari yang disetujui DPR.

Dalam aturan yang ada, kewenangan untuk menyatakan suatu bank bermasalah tidak dapat melanjutkan hidupnya alias bank gagal, walaupun telah berkali-kali diselamatkan, adalah BI. Selaku otoritas, BI juga yang berhak menyatakan bank gagal itu harus diselamatkan atau dimatikan saja.

Dalam hal bank gagal itu harus diselamatkan, maka harus dipenuhi kriteria sistemik. Artinya, jika bank tersebut dibuat ”wassalam”, dampaknya akan sangat besar. Menimbulkan persoalan yang lebih rumit karena keterkaitannya dengan bank-bank lain (sistem perbankan) begitu luas. Misalnya, berdampak pada sistem pembayaran nasional, mengganggu stabilitas pasar uang, terganggunya bank-bank lain. Pertimbangan lain adalah faktor psikologis pasar keuangan.

Ada pertanyaan, mengapa Bank Century tidak dimatikan saja? Toh sudah berkali-kali membuat ulah dan menimbulkan permasalahan. Apakah bank nakal tidak sebaiknya dimatikan saja seiring dengan upaya pemerintah dan BI menciutkan jumlah bank agar pasar perbankan nasional tidak selalu ricuh. Apalagi ukuran Bank Century dalam skala perbankan nasional tidak signifikan amat.

Karena itu, ada penilaian publik bahwa BI lemah dalam pengawasan perbankan. Itu ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya juga. Sebab, pengawas bank yang dimiliki BI di setiap bank adalah para profesional muda dan senior yang memahami betul tugas dan tanggung jawabnya. Aturannya jelas.

Hal yang mungkin terlupakan adalah sikap tegas BI selaku otoritas perbankan untuk menegakkan aturannya sendiri. Mungkin ini terjadi lantaran adanya berbagai faktor pertimbangan yang tidak bisa dikalkulasi secara matematis dalam setiap pengambilan keputusan BI untuk menutup atau tidak menutup suatu bank.

Bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla, persoalan Bank Century adalah tindakan kriminal. Masalahnya, Wapres tidak menjelaskan siapa yang melakukan tindak kriminal dalam persoalan ini. Namun jelas sikap Wapres, menginstruksikan Kepala Polri agar menangkap pemilik bank dan memasukkannya ke dalam penjara.

Betul...! Manakala setiap pelaku kriminalitas di sektor finansial, lingkungan perbankan, pasar uang, pasar modal, sekecil apa pun tindakan kriminalnya, senantiasa segera ditangkap dan dipenjarakan, masyarakat pasti angkat jempol. Bank adalah bisnis kepercayaan. Besar atau kecil, pengaruhnya pasti ada dalam menciutkan nyali pelaku sektor finansial untuk bermain-main di atas ketidaktegasan otoritas dan penegak hukum lainnya.

Dengan berbagai gugatan itu, wajar dan masuk akal jika semakin timbul aneka rupa tanda tanya dalam benak publik. Jangan-jangan..., jangan-jangan..., dan pelbagai jangan-jangan lainnya.

Misalnya, jangan sampai penyelamatan Bank Century itu sebenarnya bukan karena faktor-faktor teknis perbankan yang disebutkan di atas, tetapi faktor lain yang sangat fleksibel sifatnya. Apalagi kalau kita mendengar nama-nama deposan besar Bank Century. Siapa tahu?

Tidak main-main


Akan tetapi, pemerintah dan BI menyatakan secara tegas bahwa tidak ada yang main-main dalam penyelamatan Bank Century. Mantap...! Syukurlah jika memang demikian adanya.

Akan tetapi, apakah publik percaya begitu saja? Saya tidak mengajak publik, khalayak pembaca, untuk tidak memercayai ucapan pejabat publik. Kepada siapa lagi kita percaya kalau bukan mereka. Oleh karena itu, mari kita percaya kepada langkah-langkah yang diambil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengaudit kasus ini.

Kita tentu percaya BPK yang diminta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan audit. Apalagi Ketua BPK Anwar Nasution adalah mantan Deputi Gubernur Senior BI. Tentu masih segar dalam ingatannya tata kelola yang diterapkan di BI dan segala macam perilaku mantan koleganya di sana.

Tentu kita menitip harapan agar kasus ini terungkap secara transparan dan akuntabel. Siapa melakukan apa, siapa mengatakan apa saat pengambilan keputusan, siapa mengambil apa? Siapa menguntungkan siapa?

Satu hal lagi, jangan pula kasus ini jadi alat kepentingan. He-he-he...! Soalnya, sebentar lagi periode kabinet berakhir dan yang baru terbentuk. Banyak pemain akrobatik berkeliaran.

Benar, deh. Masyarakat sudah lelah melihat perilaku patgulipat pejabat, politisi, penegak hukum. Banyak di antaranya yang sangat susah mencari sesuap nasi. Betapa sulit mendapat kucuran modal untuk bekerja halal. Namun, untuk dana Bank Century, mereka nilai begitu gampang.

Mereka tidak paham lika-liku pengambilan keputusan publik, tetapi mereka merasakan adanya getaran ketidakadilan di sana.

Sumber : Kompas Cetak
Read Full 0 komentar
 

© 3 Columns Newspaper Copyright by TRIBUNOPINI.COM | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks